Metode pengambilan hukum

METODE PENGAMBILAN HUKUM

Dari Ushul Fiqh ke Maqasid Syariah

Pendahuluan

Diawali oleh revolusi Iran 1978, ada fenomena menarik terjadi dalam dunia Islam, yaitu munculnya termashohwah, kebangkitan atau pencerahan. Umat Islam telah ‘sadar’ dan bangkit dari ‘tidur’nya yang panjang. Ada kesadaran di kalangan umat bahwa kemunduran dan keterbelakangan umat Islam disinyalir karena norma-norma, ajaran-ajaran, dan tuntunan-tuntunan agama sudah tidakmatch dengan realita umat Islam, mereka tidak menjadikan agama sebagai the way of life lagi. Kalaupun ada, itu hanya terbatas pada dimensi yang bersifat individual. Rupanya ini adalah ekses dari penjajahan yang hampir menimpa seluruh negara-negara bermayoritas muslim.

Dari fenomena diatas, muncullah gerakan dan aliran yang mengusung slogan “al-Islam huwa al-

hall”, Islam adalah solusi alternatif setelah ‘kegagalan’ beberapa teori produk Barat, seperti sosialisme dan

kapitalisme. Slogan-slogan sejenis yang cukup menyedot perhatian publik adalah tathbiq syariah, penerapan

hukum Islam secarakaffah, di segala bidang; politik, ekonomi, dan sosial. Ada keyakinan bahwa dengan

nidhom Islami semua krisis akan ‘terselesaikan’, umat Islam kembali menemukan masa kejayaannya yang

selama ini ‘hilang’.

Dengan semangatshohwah, maka kran-kran ijtihad terbuka lagi setelah sekian lama ‘tertutup’. Ajakan-ajakan ke arah sana demikian gencar, bahwa ijtihad adalah suatu keniscayaan. Bahwa kondisi sekarang jauh sama sekali berbeda dengan kondisi para imam mujtahid ketika memformulasikan metodologi Ijtihad. Namun ternyata, pada tataran praktis, slogan-slogan di atas hanya sebatas slogan, ijtihad yang ada hanya bersifatfuru’i, belum ke arah yang mendasar. Para ulama yang berkompeten di bidang ini lebih senang dan lebih ‘aman’ mengikuti metodologi yang sudah ada. Usaha dari beberapa orang yang menyuarakan perlunya metodologi baru selalu dihalangi dan tidak mendapat tempat karena dianggap tidak mumpuni, belum selevel dengan para imam mujtahid masa lalu. Orang-orang seperti Abid Jabiri, Hasan Hanafi, Ibn ‘Asyur, Hasan Turaby dan sederatan nama-nama lain yang mengkampanyekan perlunya terobosan baru dalam metodologi pengambilan hukum tidak mendapatkan respon positif karena dianggap tidak mempunyai kapabilitas di bidang itu dan jauh dibawahkelas seperti Imam As-Syafi’i. Kemudian dibuatlah tingkatan mujtahid secara hirarkis, dari mulai mujtahid mutlak mustaqil, ghoir mustaqil, mujtahid fatwa dan seterusnya. Dan untuk mencapai tingkatan pertama, disusunlah aturan-aturan yang amat ketat yang tidak bisa dijangkau kaum intelektual sekarang. x

Urgensi dan perkembangan Ushul Fiqh

Sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu urgensitas ushul fiqh amat dirasakan dalam menangkap “pesan-pesan” Tuhan terutama yang berhubungan denganam aliyah sehari-hari, hubungan antar makhluq, dan bukan hanya pada masalah aqidah (teologi). Upaya-upaya di kalangan dulu dalam membuat metodologi pengambilan hukum sungguh amat penting bagi generasi selanjutnya dan perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tetapi apa yang telah di rumuskan oleh pendahulu tadi bukanlah hal baku yang tidak mengalami perkembangan dan bahkan perubahan, tetapi sebaliknya. Pada era dimana ilmu tersebut lahir, Ushul fiqh telah mengalami perkembangan, bahkan berbeda satu teori dengan yang lainnya. Ketika Syafi’I yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu diatas membatasi sumber hukum pada empat macam; Al-Qur’an, Al- Hadits, Ijma’ dan Qiyas, maka pengikut Hanafiah menambahkanis tihs an sebagai standar dalam istinbât al-

hukm. Hal yang sama dilakukan oleh Malikiyah dengan teori maslahah mursalahnya. Perbedaan itu – tentu

saja- tidak terbatas pada sources of law, sumber hukum semata, tetapi lebih jauh dari itu. piranti yang digunakan pun berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini karena ada kesadaran bahwa teori yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid tidak bisa menjawab semua problematika yang ada, maka muncullah teori baru dengan harapan bisa mewakili dalam memberikan solusi umat. Dan begitu seterusnya, akan muncul teori baru demi tuntutan masa yang terus bergerak.

Adalah Ibn Hazm (lengkapnya Abu Mohamad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm, lahir 7 Nov 994 dan wafat 15 Agustus 1064) yang selama ini dianggap sebagai penerus dari mazhab yang diprakarsai Daud Al-Asbihani (202-270 H)**, yaitu mazhab tekstualis, mazhab Zahiriyah, telah memainkan peran yang sangat besar dalam mengembangkan dan mematangkan ilmu ushul: ushulul fiqh dan ushulud dien.1 Hal ini bisa kita telusuri bahwa ada tiga dari empat dasar ilmu dalam buku tersebut;al-‘Um dah karya Qodli Abd Jabar,Al- Burhan karya Al-Juwaini, danal-Mu’tamad kepunyaan Abi Hasan al-Basri, ada pada masa Ibn

Hazm. Sementaraal-m us tas fa-nya Al-Ghozali dianggap penting karena ia merupakan ringkasan dari ketiga buku tersebut diatas. Maka tentu saja kita bisa menggolongkan bahwa Ihkam fi ushul al-Ahkam nya Ibn Hazm termasuk periode di atas. Dan yang menarik dari buku terakhir ini, kalau empat buku pokok diatas – sebagaimana pengakuan penulisnya- mengikuti pola yang gariskan Syafi’i, Hanafi atau Maliki, maka Ibn Hazm justru menolak ‘membebek’hatta kepada sahabat sekalipun, ia bahkan telah membuat langkah maju dengan membuat metodologi baru yang berbeda sama sekali dengan pendahulunya.

Kalau imam As Syafi’i menjadikan empat pokok; Al-Qur’an, al-Sunah, Ijma’ dan Qiyas, sebagai sumber hukum, maka dalam teorinya Ibn Hazm sumber-sumber yang bisa dijadikan dasar hukum terbatas pada empat hal; Al-Qur’an, Al-sunah, Ijma’ danal-dalil. Teori dalil yang ditawarkan Ibn Hazm sebagai ganti dari qiyas menggunakan qiyas mantiqi yang mengandung dua premis; mayor dan minor. Salah satu dari dua premis tadi harus berupa nash dan lainnya bisa ijma’ atau hal-hal yang bersifat aksiomatik

(badîhiyyah).

Demikian pula pengertian ijma’ versi Ibn Hazm tidak sama dengan para pendahulunya. Kalau Ijma’ versi kebanyakan paraus uliyun adalah konsensus ulama atas hukum yang tidak ada nashnya denganro’yu mereka atau dengan mengkiyaskan pada hukum yang telah ada nashnya, maka ini berbeda dengan ijma’ versi Ibn Hazm. Karena menurutnya tak ada ijma kecuali dari teks/nash. Selanjutnya ia menambahkan: tak ada jalan untuk mengetahui hukum-hukum agama tanpa menggunakan salah satu dari keempat pokok yang kesemuanya kembali pada teks, teks itu diketahui kewajibannya, dan dipahami artinya dengan akal.2

Ibn Hazm menggunakan teorinya yang baru ini dalam rangka menjawab problematika umat pada saat itu, Masa dimana krisis moral dan krisis sosial melanda begitu hebatnya, para Fuqaha justru menjadi ‘support’ dan legitimitator penguasa akan kondisi di atas. Teoriqiyas danis tihs an sering ‘diekploitasi’ untuk kepentingan sekelompok golongan.3 Terlepas apakah metode Ibn Hazm masih relevan atau tidak untuk kontek kekinian, tetapi ia telah memberikan solusi alternative dalam menjawab problematika umat dengan metode barunya yang –paling tidak- dibutuhkan pada zamannya.

Ushul Fiqh hampir tidak mengalami perkembangan yang signifikan, yang ada paling sekedar komentar atau sedikit penambahan –penambahan yang tidak begitu essensi, dan berkutat pada masalah- masalah yang sudah ada. Barulah ketika Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al- Gharnathi yang lebih dikenal dengan Al-Syatibi (730 H) membuat formulasi baru dalam ilmu ushul fiqh yang tertuang dalam karyanyaal-Muwâfaqât, sebuah buku yang selalu menjadi rujukan utama oleh orang- orang setelahnya.

Syatibi melihat ada yang kurang dan ‘terlupakan’ dalam metodologi yang dipakai orang-orang dahulu. Atau lebih tepatnya formulasi ushul fiqh yang ada saat itu kurang memberikan jawaban pada problematika yang dihadapi umat, karenanya dianggap perlu memformat ulang kerangka ushul fiqh.

Proyek besar Syatibi ini perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi bukan hanya karena ia telah menjembatani dan mencari titik temu dari dua teori yang berbeda; Malikiah dan Hanafiah, tetapi lebih dari itu ia telah memberikan ‘roh’ terhadap ushul fiqh yang selama ini tampak kering dan gersang. Roh dari syariat yang selama ini tidak mendapatkan concern yang tinggi dari pendahulunya, yaitu masalahmaqasid

syariah.

DalamAl- Muwâfaqât, Syatibi mencoba memformat ulang ushul fiqh yang selama ini terkesan tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan. Pembahasanmaqasid tidak lagi menjadi pembahasan sekunder, tapi Syatibi memberikan porsi yang cukup untuk pembahasan ini. Selain itu manhaj yang dipakai Syatibi berbeda dengan pendahulunya, ia ingin menjadikan ilmu ini sebagai ilmu burhani, ilmu yang berlandaskan pada dalil qoth’i. Dalam muqadimahnya ia menyebutkan bahwa ushul fiqh dalam agama adalah pasti/qoth’iah bukandzonniah. Karenanya Abid Jabiri menganggap bahwa apa yang dilakukan Syatibi adalah dalam rangka ta’sil usul syariat, menetapkan pokok-pokok syariat, membuat ushul fiqh baru.4

Muwafâqat adalah usaha merekonstruksi paradigma berfikir dalam istinbath hukm yang berdasarkan

pada maqâsid syariat dari yang sebelumnya –semenjak Syafii- bersandarkan pada “investasi teks”, pencarianillat danqiyas. Meski pada dasarnya kedua teori ini berangkat dari starting point yang sama, bahwa hukum-hukum syariat yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, akan tetapi bukan hukum serampangan yang tidak berdasarkan pada logika, produk hukum yang bisa dirasionalkan dan mengandung hikmat.Karena Syar’i tidak menjelaskan segi rasionalitas dan hikmat pada sejumlah besar hukum –misalnya

Tuhan tidak menjelaskan sebab pengharaman minum arak, sebab musabab haramnya zina- dan bahwa

hukum-hukum yang termaktub dalam Qur’an dan Hadits sangat terbatas untuk menampung semua perintahNya.

B. Pembahasan

1. Pengertian

a. Menurut Bahasa Islam berasal dari kata Salima. Dari kata ini dapat diartikan menjadi beberapa arti antara lain ;

a.

    • Islaamul Wajhi, menundukkan wajah (4:125).
    • Al Istislam, berserah diri (3:83).
    • As salaamah, keselamatan, kebersihan, kesehatan (26:89).
    • As salaam, selamat, sejahtera (6:54).
    • Assalm atau As silm, perdamaian, kedamaian (47:35).

Jadi kata Al Islam artinya jika kita tunduk dan berserah diri kepada allah Swt, maka kita selamat dan merasakan kedamaian hidup.

b. Menurut Terminologi, Agama Islam adalah sebuah keyakinan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, yang bertujuan menyerahkan diri, taat dan patuh hanya kepada Allah Swt

2. Ayat-ayat yang menerangkan Islam dalam Al qur’an

1. Islam Satu-satunya agama yang diterima Allah Swt.

a. Surat Ali Imran 19.

إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب

Artinya :”Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (Q.S Ali Imran 19)

Penjelasan :

Syari’at yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Dan tidak ada agama yang diridhoiNya kecuali Agama Islam. Sebagaimana Q.S. Ali Imran 85 yang berbunyi :

ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين

Artinya :”Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.(QS. Ali-Imran 85)

Apa-apa yang diperselisihkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani tentang Islam dan kenabian Muhammad Saw. Adalah setelah mereka mengetahui ayat-ayat yang jelas dan bukti-bukti yang nyata tentang kenabian Nabi Muhammad Saw. Bukan karena ketidaktahuan atau kesamaran mereka tentang agama Islam. tetapi karena kesombongan, kedengkian, dan ketakutan mereka kehilangan kedudukannya sebagai pemimpin.

Kata Islam berarti menyerah, taat dan patuh. Jadi agama yang diterima Allah bukan hanya sekedar teori , atau sekedar pembenaran dalam hati saja. Tapi yang paling penting adalah melaksanakan teori itu dan merealisasikan pembenaran hati tersebut dalam tindakan nyata. Seperti menjadikan sistem Allah sebagai standar untuk menyelesaikan berbagai persoalan hamba, mematuhi ketentuan semua sistem itu, serta mengikuti semua arahan dari RasulNya.

b. Surat Ali Imran 83.

أفغير دين الله يبغون وله أسلم من في السماوات والأرض طوعا وكرها وإليه يرجعون

Artinya : “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.(Q.S Ali Imran 83)

Penjelasan :

Secara lahiriyah dapat dipahami bahwa Islamnya Alam Semesta ini berarti kepatuhannya kepada perintah, sistem, dan ketentuan sang Pencipta. Hal ini bertujuan agar tidak menyusup kedalam otak manusia bahwa Islam itu sebatas kata yang diucapkan dengan lisan, atau hanya sekedar pembenaran dalam hati, kemudian tidak diikuti dengan tindakan nyata yang mencerminkan penyerahan diri kepada Allah dengan merealisasikan dalam kehidupan nyata.

Islam bukan hanya sekedar ritual-ritual ibadat, syiar-syiar kegamaan tanpa dioiringi dengan tindakan nyata, yaitu dengan menerapkan perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu tidak ada berarti jika tidak berpengaruhnya terhadap kehidupan social, sehingga masyarakat hidup damai, aman dan bersih.

2. Islam agama para Nabi-nabi terdahulu.

a. Q.S Ali Imran 67.

ما كان إبراهيم يهوديا ولا نصرانيا ولكن كان حنيفا مسلما وما كان من المشركين

Artinya : “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Q.S. Ali Imran 67).

Penjelasan :

Pada ayat sebelumnya ditegaskan bahwa Nabi Ibrahim bukanlah penganut Yahudi atau Nasrani, Taurat dan Injil diturunkan setelah beliau. Selain ditegaskan pula bahwa Nabi Ibrahim tidak cenderung kepada agama apaun selain Islam. Beliau adala seorang Muslim dalam arti Komprehensif. Seperti yang diuraikan dalam ayat diatas :

وما كان من المشركين

Artinya :”dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Q.S. Ali Imran 67).

Hakikat ini terkandung dalam firman sebelumnya :

ولكن كان حنيفا مسلما

Artinya :”akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah).”

Pengungkapan ini menunjukkan beberapa hal, antara lain :

a. Orang-orang Yahudi dan Nasrani menganut keyakinan yang menyimpang adalah Musyrik, karena itu tidaklah mungkin Nabi Ibrahim menganut agama yahudi atau nasrani. Tapi beliau adalah orang yang lurus dan berserah diri kepada Allah (Islam).

b. Islam adalah agama Tauhid mutlaq, sementara Yahudi dan Nasrani agama yang penuh kemusyrikan.

c. Menolak klaim orang-orang musyrik dari golongan Quraisy yang mengatakan bahwa mereka pengikut Nabi Ibrahim dan menjaga peninggalannya yaitu ka’bah, padahal mereka adalah orang-orang musyrik.

Begitulah, keadaan Ahli Kitab yang aneh. Mereka mengaku mengikuti agama Allah. Namun, ketika “mereka diajak kepada kitab Allah supaya kitab itu itu menentukan hukum diantara mereka, kemudian sebagian mereka berpaling”( QS. 3:23) . Hal ini jelas bertentangan dengan pengakuan bahwa mereka mengikuti agama Allah. Allah tidak akan menerima agama selain Islam dan Islam tidak akan terwujud tanpa berserah diri kepadaNya, patuh pada RasulNya, mengikuti sistemNya serta menjadikan KitabNya sebagai pegangan untuk menata semua urusan kehidupan manusia. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Hajj 17

إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئين والنصارى والمجوس والذين أشركوا إن الله يفصل بينهم يوم القيامة إن الله على كل شيء شهيد

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”. (Q.S Al Hajj 17)

Menurut Al-Maraghi dalam Tafsirnya, bahwa memberi keputusan secara adil, memberi balasan sesuai dengan amalnya. Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman ke Syurga dan sebaliknya memasukkan bagi mereka yang mengingkariNya. Dan Allah mengetahui apa yang diucapkan mereka yang tidak sesuai dengan perbuatannya.

b. Q.S. Asy-Syuura 13.

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم إليه الله يجتبي إليه من يشاء ويهدي إليه من ينيب

Artinya : “Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (Q.S Asy Syuraa 13).

Penjelasan :

Allah telah mensyari’atkan kepada nabi Muhammad Saw sebagaimana yang telah disyari’atkan kepada para nabi Ulul ‘azmi yaitu : Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa ‘Alaihim As-salam. dan mengkhususkan nabi Musa as. Kepada umat Yahudi, nabi Isa as. Kepada umat Nashrani. Akan tetapi mereka mendapat perintah yang sama yaitu menegakkan Dinul Islam atau agama Islam atau agama Tauhid. Dan dasar-dasar Syari’at dan Hukum semua sama seperti Iman kepada Allah, Hari Kiamat, malaikat, berbuat sesuai Akhlaqul Karimah dan lain-lain.

Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada umat Muhammad untuk menegakkan agama para Nabi yaitu agama Tauhid dengan benar dan ikhlas dan menjaganya jangan sampai menjadi orang yang meninggalkan dan menyimpang dari agama ini. Dan dilarang berpecah belah artinya melaksanakan sebagian isi agama Islam dan meninggalkan sebagiannya. Larangan ini adalah dalam hal dasar-dasar syari’at seperti keimanan kepada Allah, bukan masalah furu’iyahnya. Sebagaimana firmanNya :

…..لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ….

Artinya :”Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Q.S. Al-Maidah 48)

Ajaran tauhid ini akan sangat berat dan sulit diterima oleh kaum Kafir karena kebiasaan mereka menyembah berhala dan bermacam-macam Tuhan. Dan ketakutan mereka meninggalkan adat istiadat yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka. Sebagaimana FirmanNya :

بل قالوا إنا وجدنا آباءنا على أمة وإنا على آثارهم مهتدون

Artinya :”Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Q.S. Az-Zuhruf 22).

Setelah Allah memberi petunjuk kepada umat Islam untuk selalu berpegang teguh agama Islam atau agama Tauhid yaitu agama para Nabi terdahulu, Allah memilih orang yang dikehendakiNya dengan menuntunnya untuk beramal dan mengikuti ajaran-ajaran para NabiNya. Artinya barang siapa ingin mendapatkan petunjuk dan bimbingan Allah maka, ia harus mengikuti apa yang telah para Nabi ajarkan kepada umatnya.

C. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat kami simpulkan :

  1. Islam adalah satu-satunya agama, syar’iat dan aturan yang diterima Allah.
  2. Agama Islam dalam arti agama Tauhid merupakan agama yang di bawa oleh para Nabi terdahulu.
  3. Dalam menjalankan agama Islam jangan karena factor keturunan atau mengikuti ajaran nenek moyang atau melakukan pencampuran dengan ajaran-ajaran yang tidak ada contoh dari Nabi Muhammad Saw.

I. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Ada beberapa ayat yang mengandung tujuan pendidikan islam, antara lain:
1. Surah al-Baqarah ayat 1-5

الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا

رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4)
1. Alif laam miim.

2. Kitab (al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi rnereka yang bertaqwa,
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki, yang Kami anugerahkan kepada mereka,

4. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu; serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan rnerekalah orang-orang yang beruntung.

Syarh dan Tafsir singkat

– Orang yang bertakwa adalah orang yang mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima petunjuk Ciri orang yang bertaqwa: mengimani yang ghaib, mendirikan shalat, serta menafkahkan sebagian rezeki.

– Yuqinun (yakin) adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu dibarengi dengan tersingkirnya keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dari hal diatas dapat dipahami bahwa surah al-baqarah ayat 1-5 kalaulah dikaitkan dengan tujuan pendidikan sebagai berikut :

1. Mewujudkan manusia yang taqwa dan banyak beramal shaleh

2. Agar manusia mempercayai akan keberadaan Allah

3. Mewujudkan manusia yang percaya akan hari akhir

4. Mewujudkan kesuksesan dalam hidup. Pendidikan sebagaimana pengertiannya yang disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.

Pendidikan yang dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas di atas adalah pendidikan yang mengarah pada pembentukan manusia yang berkualitas atau manusia seutuhnya yang lebih dikenal dengan istilah insan kamil. Untuk menuju terciptanya insan kamil di atas, maka pendidikan yang dikembangkan menurut Mendiknas (2006: xix) adalah pendidikan yang memiliki empat segi yaitu : olah kalbu, olah pikir, olah rasa, dan olah raga.

2. Surah al-Hajj ayat 41

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ(41)

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan Zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan “. (QS. 22:47).
Kaitannya dengan tujuan pendidikan sebagai berikut:
1. Mewujudkan seorang yang selalu menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.
2. Mewujudkan manusia yang selalu bertawakkal pada Allah.
II. SUBJEK PENDIDIKAN

1. Ar-Rahman ayat 1-4

الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآَنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (4)

1. (Rabb) Yang Maha Pemurah,

2. Yang telab mengajarkan al Qur’an.

3. Dia menciptakan manusia

4. Mengajarnya pandai berbicara /AI-Bayan Syarh dan Tafsir singkat Allah adalah dzat yang Maha Mendidik. Dalam surat ini digunakan kata ar-Rahman salah satu asma` al-Husna yang berarti Maha pemurah. Al-Qur’an adalah firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafal dan maknanya yang beribadah siapa yang membacanya, menjadi bukti kebenaran mukjizat Nabi Muhammad SAW AI-Bayan berarti jelas. Namun ia tidak terbatas pada ucapan, tetapi mencakup segala bentuk ekspresi, termasuk seni dan raut muka. Kaitannya dengan Subjek Pendidikan sebagai berikut:

1. Kata ar-Rahman menunjukkan bahwa sifat-sifat pendidik adalah murah hati, penyayang dan lemah lembut, santun dan berakhlak mulia kepada anak didiknya dan siapa saja (Kompetensi Personal)
2. Seorang guru hendaknya memiliki kompetensi paedagogis yang baik sebagaimana Allah mengajarkan al-Quran kepada Nabi-NYA

3. Al-Quran menunjukkan sebagai materi yang diberikan kepada anak didik adalah kebenaran/ilmu dari Allah (Kompetensi Profesional)

4. Keberhasilan pendidik adalah ketika anak didik mampu menerima dan mengembangkan ilmu yang diberikan, sehingga anak didik menjadi generasi yang memiliki kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual, sebagaimana penjelasan AI-Bayan.

2. Surah. Luqman: 13

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
”Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Dari ayat tersebut dapat kita ambil pokok pikiran sebagai berikut:

1. Orang tua wajib memberi pendidikan kepada anak-anaknya.

2. Prioritas pertama adalah penanaman akidah, pendidikan akidah diutamakan sebagai kerangka dasar/landasan dalam membentuk pribadi anak yang soleh (Kompetensi Profesional).

3. Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat kasih sayang, sesuai makna seruan Lukman kepada anak-anaknya, yaitu “Yaa Bunayyaa” (Wahai anak-anakku), seruan tersebut menyiratkan muatan kasih sayang/sentuhan kelembutan dan kemesraan, tetapi dalam koridor ketegasan dan kedisplinan, bukan berarti mendidik dengan keras. (Kompetensi Personal).
3. Surah al-Kahf ayat 66

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)

”Musa berkata kepada Khidhr “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” (QS. 18: 66)”.

Syarh dan Tafsir singkat Dalam pertemuan kedua tokoh pada ayat ini diceritakan Nabi Musa yang terkesan banyak menanyakan sesuatu kepada Khidhr yang memiliki ilmu khusus. Sementara jawaban dari Khidhr a.s. menyatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sanggup untuk sabar bersamanya. Dan bagaimana Nabi Musa dapat sabar atas sesuatu, sementara ia belum menjangkau secara menyeluruh beritanya. Kaitan ayat ini dengan aspek pendidikan bahwa seorang pendidik hendaknya:

1. Menuntun anak didiknya

2. Memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu,
3. Mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.

III. OBJEK PENDIDIKAN

1. Surah asy-Syu’ara: 214

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”( QS. 26: 214).\ Syarh dan Tafsir singkat Ketika ayat ini turun, Rasul SAW naik ke puncak bukit Shafa, di Mekah, lalu menyeru keluarga dekat beliau dari keluarga besar ‘Ady dan Fihr yang berinduk pada suku Quraisy. Semua keluarga hadir atau mengirim utusan. Abu Lahab pun datang, Ialu Nabi SAW bersabda: “bagaimana pendapat kalian, jika aku berkata bahwa:di belakang lembah ini ada pasukan berkuda bermaksud menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?” mereka berkata: “Ya, kami belum pernah mendapatkan darimu kecuali kebenaran”. Lalu Nabi bersabda: “Aku menyampaikan kepada kamu semua sebuah peringatan, bahwa di hadapan sana (masa datang) ada siksa yang pedih”. Abu Lahab yang mendengar sabda beliau itu, berteriak kepada Nabi SAW berkata: “celakalah engkau sepanjang hari, apakah untuk maksud itu engkau mengumpulkan kami?” Maka turunlah surah Tabbat Yada Abi Lahab” (HR.Bukhori, Muslim,

Ahmad dan lain-lain melalui Ibn Abbas). Demikianlah ayat ini mengajarkan kepada rasul SAW dan umatnya agar tidak pilih kasih, atau memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian peringatan dan pendidikan

2. Surah ‘Abasa ayat 1-3

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3)

1. Dia (Muhammad ) bermuka masam dan berpaling

2. Karena telah datang seorang buta kepadanya

3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya dari dosa Syarah dan tafsir singkat
Ketika itu Rasulullah sedang berdakwah ditengah para pembesar Quraisy dengan harapan mereka masuk Islam, namun kedatangan seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum disambut Rasulullah dengan muka masam dan berpaling darinya (cuek), padahal sibuta itu ingin memperoleh pelajaran tentang ajaran-ajaran Islam. Serentak oleh Allah Rasulullah ditegur dengan turunnya surat ini. Pelajaran yang dapat kita petik adalah:

1. Setiap insan berhak memperoleh pendidikan, tanpa mengenal ras, suku bangsa, agama maupun kondisi pribadi/fisik dan perekonomiannya.

2. Sebagai seorang pendidik harus bijak dalam menghadapi anak didiknya dan tidak membeda-bedakan hanya karena fisik yang tidak sempurna. Misal tingkatkan pula pelayanan pendidikan pada peserta didik yang difabel.

IV. KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR

1. Surah al-Ankabut: 19-20

أَوَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ اللَّهُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (19) قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ

فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآَخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20)

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali)”. “Sesungguhnya.yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. 29: 99) Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya.Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS 29: 20”).
Dari ayat tersebut di atas (al-Ankabut: 20) memerintahkan untuk:

1. Melakukan perjalanan, dengannya seseorang akan menemukan banyak pelajaran berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam, maupun dari peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya.

2. Melakukan pembelajaran, penelitian, dan percobaan (eksperimen) dengan menggunakan akalnya untuk sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, dan bahwa di balik peristiwa dan ciptaan itu, wujud satu kekuatan dan kekuasaan Yang Maha Besar

2. Surat al-‘Alaq (ayat 1-5)

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Kaitan dengan pendidikan:

1. Iqra` bisa berarti membaca atau mengkaji. sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika

2. Kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.
Hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigm

1. Paradagima sekuler: paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Eksistensi agama tidak dinafikan hanya dibatasi perannya.

2. Paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus,tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek.
3. Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan.

V. MATERI PENDIDIKAN

1. Surah At-Taubah ayat 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang muKmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapaorang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Syarh dan Tafsir singkat Ayat ini memberi anjuran tegas (tah}d}>id}) kepada umat Islam agar ada sebagian dari umat Islam untuk memperdalam agama. Dalam S}afwah al-Tafsi>r dikatakan bahwa yang dimaksud kata tafaqquh fi al-di>n adalah menjadi seorang yang mendalam ilmunya dan selalu memiliki tanggung jawab dalam pencarian ilmu Allah. Dengan demikian menurut tafsir ini dalam sistem pendidikan Islam tidak dikenal dikhotomi pendidikan, karena akan menimbulkan dampak sebagai berikut :

1. Kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam yang memisahkan antara ilmu ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum (Kuntowijoyo, 1991: 352);

2. Disintregasi sistem pendidikan Islam;

2. Surat Luqman ayat 13وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
”Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Berdasarkan surat Luqman ayat 13 materi pendidikan yang di prioritaskan adalah pendidikan akidah terlebih dahulu, dengan penyampaian lembut dan penuh kasih sayang. kenapa dalam mendidik perlu diutamakan akidah terlebih dahulu? Kenapa tidak yang lain? Jawabnya adalah karena akidah merupakan pondasi dasar bagi manusia untuk mengarungi kehidupan ini. Akidah yang kuat akan membentengi anak dari pengaruh negatif kehidupan dunia.

Setelah akidah anak kuat, orang tua perlu menekankan pendidikan pada aspek ibadah seperti salat, berdakwah dengan memberi contoh terlebih dahulu, seperti mencegah diri dari yang mungkar dan selalu melakukan kebaikan. Setelah itu memberi nasehat kepada orang lain untuk meninggalkan kemungkaran dan mengerjakan kebaikan.

Dan tidak kalah pentingnya adalah mendidik akhlak anak

V. METODE PENDIDIKAN

1. Surat An-Nahl ayat 125

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ

بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)
“Ajaklah kepada jalan Tuhan mu dengan cara yang bijaksana dan dengan mengajarkan yang baik, dan berdiskusilah dengan mereka secara lebih baik”.

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari ayat ini bahwa metode yang di lakukan dalam proses pendidikan diantaranya:

1. Ceramah

2. Diskusi

2. Surat Al-‘Araf ayat 35

يَا بَنِي آَدَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آَيَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (35)
“Hai anak cucu Adam! Jika datang kepadamu Rasul-rasul sebangsamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-KU, maka barangsiapa yang bertaqwa dan mengadakan perbaikan, niscaya mereka tidak merasa ketakutan”

Metode cerita / ceramah ini digunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan perintah-perintah Allah.

3. Surat Ar-Rahman ayat 47-48 بِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (47) ذَوَاتَا أَفْنَانٍ (48)
“ Nikmat yang manalagi yang akan kamu dustakan? Kedua surga itu mempunyai serba macam pohon dan buah-buahan”. Dalam surat Ar-Rahman ayat 47-48 tergambarkan bahwa Tanya jawab merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pendidikan.
VI. EVALUASI PENDIDIKAN

Surah al-Baqarah: 31

وَعَلَّمَ آَدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31)

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:”Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”. Proses pendidikan terhadap manusia terjadi pertama kali ketika Allah SWT selesai menciptakan Adam Alaihissalam, lalu Allah SWT mengumpulkan tiga golongan mahluk yang diciptakan-Nya untuk diadakan Proses Belajar Mengajar (PBM). Tiga golongan mahluk ciptaan Allah dimaksud yaitu Jin, Malaikat, dan Manusia (Adam Alaihissalam) sebagai “mahasiswa” nya, sedangkan Allah SWT bertindak sebagai “Maha Guru” nya. Setelah selesai PBM maka Allah SWT mengadakan evaluasi kepada seluruh mahasiswa ( jin, malaikat, dan manusia) dengan cara bertanya dan menyuruh menjelaskan seluruh materi pelajaran yang diberikan, dan ternyata Adam lah (dari golongan manusia) yang berhasil menjadi juara dalam ujian tersebut.
VII. SIKAP-SIKAP INTELEKTUAL

1. Surat Al-Isra’ ayat 36 “Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.

kritis terhadap permasalahan yang dihadapi

2. Surat Az-Zumar ayat 18

“Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
bersedia menerima kebenaran dari mana pun datangnya

3 . Surat Yunus ayat 101

“Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”. menggunakan daya nazhar (nalar) semaksimal mungkin,

http://mazguru.wordpress.com/category/ayat-pendidikan/

« Peluang Amal

Teruslah membaca Al Qur’an »

Kemukjizatan Al Qur’an

Januari 30, 2010 oleh Jendela Hati

oleh : Ust. Abu Rabbani, S. Sos. I

“Anak-anak, siapa diantara kalian yang mengetahui  mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW?” Tanya Pak Ihsan, guru Sekolah Dasar Negeri 5 Bandung kepada murid-muridnya pada suatu hari. Sebelum telunjuknya mengarah kepada salah seorang anak yg imut-imut tersebut, serentak mereka menjawab, “Al Qur-aaan…”.

Dialog diatas memberikan gambaran bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an sebagi mukjizat terbesar yg Allah berikan kepada Rasululllah SAW, sdh begitu sangat melekat dalam diri seorang muslim. Bahkan pemahaman tersebut telah ditanamkan semenjak duduk di Sekolah Dasar. Namun pertanyaannya adalah, pernahkah kita merasakan bahwa Al Qur’an adalah sesuatu yg luar biasa, mukjizat, yg Allah telah turunkan kepada junjunan alam, Nabi Muhammad SAW? Padahal kemukjizatan Al Qur’an bersifat abadi yg bisa dirasakan oleh siapapun yang mau merasakannya.

Mukjizat merupakan salah satu bukti dari kebenaran seorang rasul. Ia ada yang bersifat hisiyyah, yaitu mukjizat yg bisa dirasakan secara langsung oleh panca indera. Seperti mukjizat Nabi Musa berupa tongkat yang berubah menjadi seekor ular besar yang mampu memakan ular-ular kecil buatan para tukang sihir fir’aun. Ia bersifat sesaat dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang hadir menyaksikan tatkala peristiwa itu terjadi. Selain mukjizat yg bersifat hissiyyah, Allah SWT jg menurunkan kemukjizatan yg bersifat ‘aqliyyah, yaitu kemukjizatan yg hanya bisa dirasakan ketika akal dan pikiran berfungsi dengan baik. itulah Al Quran. Ia merupakan mukjizat yang kemukjizatannya bisa dirasakan siapapun yang mau menggunakan akal pikirannya.

Secara bahasa mukjizat terambil dari kata a-ja-za yang berarti melemahkan, atau menjadikan lemah atau mengalahkan. Sementara secara istilah Imam as-Syuyuthi mengatakan mukjizat adalah kejadian yang melampaui batas kebiasaan, didahului oleh tantangan tanpa ada tandingan. Sementara Ibnu Khaldun berpendapat, Mukjizat adalah perbuatan-perbuatan yang tidak mampu ditiru oleh manusia. Tidak masuk ke dalam kategori yang mampu dilakukan oleh hamba, dan berada di luar standar kemampuan mereka.

Aspek-aspek Kemukjizatan Al Quran

Untuk memudahkan kaum muslimin merasakan keagungan dari kemukjizatan Al Qur’an para salafus shalih telah memberikan pandangannya terhadap aspek-aspek kemukjizatan Al Qur’an, diantaranya adalah aspek lughawi atau aspek bahasa dan aspek ‘ilmii atau aspek ilmiyah.

Dari aspek kebahasaan

A. Keunikan dalam aspek kebahasaan;

  1. Keseimbangan jumlah kata dengan antonimnya, diantaranya; al-hayy [hidup] dan al-maut [mati] sebanyak 145 kali; al-naf [manfaat] dan al-madharah [madarat] sebanyak 50 kali; al-har [panas] dan al-badr [dingin] sebanyak 4 kali
  2. Keseimbangan jumlah kata dan sinonimnya, diantaranya; al-hars dan al-zi’arah [membajak/bertani] sebanyak 14 kali; al-zhahr dan al-‘alamiyah [nyata/tidak nyata] sebanyak 16 kali
  3. Keseimbangan jumlah antara suku kata dengan kata lain yang menunjuk kepada akibatnya, diantaranya; al-infak [infak] dengan al-rida [rida] sebanyak 73 kali; al-bukhl [kikir] dan al-khasyarah [penyesalan]; al-fasyah [keji] dengan al-ghadzbah [murka] sebanyak 26 kali
  4. Keseimbangan antara jumlah kata dengan kata penyebabnya, misal; al-asra’ [tawanan] dengan al-harb [perang]; as-salam [kedamaian] dengan al-thayyibah [kebajikan] sebanyak 60 kali
  5. Kesimbangan-keseimbangan lain yang bersipat khusus, misalnya; kata yaum [hari] dengan bentuk tunggal sebanyak 365 kali, sesuai dengan jumlah hari dalam setahun. Kata ayyam [bentuk jama dari yaum] jumlah pemakainnya 30 kali, sesuai dengan jumlah hari dalam sebulan. Kata syahr [bulan] hanya ada 12 kali, sesuai dengan jumlah bulan dalam setahun

B. Keindahan susunan kata dan pola-pola kalimatnya dalam ragam bahasanya yang indah, fasih dan mudah dipahami; bebas dari tanafur [kontradiksi] dan ta’kid [rumit dan sulit]

Aspek ilmiyah Al Qur’an

Kemukjizatan ilmiah Al Qur’an bukanlah terletak pada pencakupan akan teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah. Akan tetapi ia terletak pada dorongan untuk berpikir, mengkaji, meneliti dan menggunakan akal serta memperhatikan alam semesta

Kemukjizatan Al Qur’an terdapat pada isyarat-isyarat ilmiah yang diungkapkan dalam konteks hidayah.

Contoh;

–          Oksigen dapat berkurang pada lapisan-lapisan udara yang tinggi. Semakin tinggi manusia berada dilapisan udara, maka semakin sesak dan sulit bernapas. Firman-Nya:” [QS. Al-An’am: 125].

–          Matahari bergerak kea rah yang telah ditentukan. (QS. Yaa Siin:38-40) Sebelum abad ke 20 para ilmuwan bependapat bahwa matahari tidak bergerak. Padahal matahari memiliki gerakan hakiki di ruang angkasa dengan ukuran dan arah tertentu.

–          Evolusi bentuk janin (QS. Nuh:14)

–          Dan lain sebagainya yang tersebar dalam berbagai disiplin ilmu.

Semoga Allah memberikan hidayahNya kepada kita untuk mampu memahami dan merasakan keindahan, keagungan dan kemukjizatan terbesar Muhammad Rasululullah SAW, yaitu Al Qur’an. Amin.

http://ltqjendelahati.wordpress.com/2010/01/30/kemukjizatan-al-quran/

« Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Al-Qur`an Obat Segala Penyakit »

Keutamaan Al Qur’an

Ditulis oleh Admin di/pada 20/04/2009

Yang lebih mengherankan, ada di kalangan ummat Islam ini yang salah dalam menyikapi Al- Qur’an. Mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai sarana mencari nafkah. Sebagian mereka menghapal Al-Qur’an dengan tujuan agar bisa di gunakan oleh orang yang membutuhkannya dalam acara-acara pernikahan dan perayaan-perayaan tertentu.

Al-Qur’an datang menyinari hati yang gelap dan menyinari jiwa yang gersang. Dan dia datang sebagai juru nasehat bagi orang yang membutuhkan bimbingan, sebagai pembawa kabar gembira bagi orang yang mau beriman dan sebagai pemberi peringatan bagi orang yang mengingkarinya. Betapa banyak kebaikan yang dapat di rasakan dengan kedatangannya, sehingga orang yang sedih akan menjadi gembira dengan membacanya dan orang yang bingung akan menjadi tenang jalannya serta orang yang hina akan menjadi mulia dengan mempelajari dan mengamalkannya.

Lebih jauh, diapun sebagai obat mujarab bagi segala penyakit. Siapa yang membaca ayat- ayatnya untuk pengobatan, maka dia akan mengetahui kehebatan Al-Qur’an dengan menyembuhkan beberapa penyakit dengan seizin Allah Ta’ala dan beberapa penyakit yang kalangan medis saat ini belum mampu menyembuhkannya. Sehingga tidaklah mengherankan kalau di katakan Al-Qur’an adalah penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya (yang artinya) :

Dan kami turunkan Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar (penyembuh penyakit fisik maupun rohani) dan rahmat bagi orang yang beriman kepada-Nya. “(QS. Al-Isra’ : 82).

Bahkan di lihat dari segi pahala dan keutamaannya. Al-Qur’an menyimpan sekian banyak pahala dan keutamaan bagi orang yang membaca, mempelajari, memahami dan mengamalkannya. Orang yang mahir membaca Al-Qur’an maka pada hari kiamat akan di kumpulkan bersama rombongan malaikat yang mulia. Sedangkan bagi orang yang terbata-bata dalam membacanya akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala dia membaca Al-Qur’an dan pahala kesungguhan dalam membacanya dengan baik dan benar.

Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi orang yang membacanya dan mengamalkannya. Bahkan Al-Qur’an akan menjadi pelindung baginya dari adzab Allah Ta’ala di dunia maupun akhirat. Sehingga di katakan, orang yang mempelajari Al-Qur’an akan mengamalkannya sebagai sebaik-baik manusia, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :

Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari – Muslim).

Tetapi kebaikan, keutamaan dan pahala tersebut tidak dapat di rasakan kecuali orang-orang yang diberi taufik dan hidayah Allah Ta’ala agar mau beriman kepadanya, membaca, mempelajarinya, dan mampu mengaplikasikannya. Adapun orang yang ingkar terhadapnya, tidak mau beriman kepadanya, tidak mau membaca maupun mempelajarinya, apalagi mengamalkannya, maka sekali-kali dia tidak akan merasakan manfaat sedikitpun. Bahkan Al-Qur’an akan menjadi sebab di hinakan dan di sesatkannya orang tersebut, dan akan menjadi hujjah (alasan) di hadapan Allah Ta’ala untuk menyiksakan pada hari kiamat.

Yang lebih mengherankan, ada di kalangan ummat Islam ini yang salah dalam menyikapi Al- Qur’an. Mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai sarana mencari nafkah. Sebagian mereka menghapal Al-Qur’an dengan tujuan agar bisa di gunakan oleh orang yang membutuhkannya dalam acara-acara pernikahan dan perayaan-perayaan tertentu. Kemudian dia mendapat upah dari bacaannya. Ada lagi yang menggunakan Al-Qur’an sebagai alat mencari nafkah di pemakaman kaum muslimin. Bila ada di antara kaum muslimin yang ingin menziarahi saudaranya di perkuburan umum, maka tidak perlu repot-repot membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan menghapalkan do’a-do’anya. Ini baru sebagian contoh kesalahan yang merebak di masyarakat dan di anggap lumrah.

Akar dari musibah memilukan ini adalah adanya keyakinan bahwa bacaan Al-Qur’an yang mereka bacakan untuk orang mati itu bisa bermanfaat bagi si mayit. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mengamalkannya, bahkan mereka semangat untuk melakukan amalan bid’ah ini lebih besar daripada untuk ibadah yang wajib, yang sangat jelas keutamaan dan faedahnya. Ambillah contoh, mereka sangat getol dalam mengamalkan bi’dah ini, sementara sholat berjama’ah di masjid mereka lalaikan.

Harapan mereka, bacaan tersebut bisa bermanfaat bagi si mayit agar terbebas dari siksa kubur dan mendapat pahala yang terus mengalir, padahal Allah Ta’ala dan Rasulnya tidak pernah mengajarkan yang demikian. Bahkan di tegaskan dalam firman-Nya bahwa sseorang tidak memperoleh pahala melainkan dari yang di usahakannya saja. Jika usahanya baik maka dia akan mendapatkan balasannya dan jika usahanya buruk dia akan mendapatkan balasannya pula. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :

Dan bahwasanya seseorang tidak memperoleh selain apa yang telah di usahakannya. “(QS. An- Najm : 39).

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam juga menegaskan dalam sabda beliau (yang artinya) :

Jika manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : Shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akannya. “(HR. Muslim).

Adapun jika anak si mayit yang membaca Al-Qur’an, maka pahalanya akan sampai kepadanya, karena anak adalah hasil usaha ayahnya. Ini adalah pendapat ulama, diantaranya Al-Imam Asy- Syafi’i Rahimahullah.

Yang perlu di pertanyakan, bagaimana mungkin Al-Qur’an bisa memberi manfaat kepada si mayit, yang semasa hidupnya suka meninggalkan sholat, suka berbuat maksiat, dan perbuatan dosa yang lainnya ? Bahkan Al-Qur’an sendiri malah memberinya kabar gembira dengan kecelakaan dan siksa.

Allah Ta’ala tidaklah menurunkan Al-Qur’an yang mulia ini melainkan agar di baca, di pahami dan diamalkan isinya. Yang berupa perintah hendaknya dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan contoh dari Rasulullah Shollallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum ajmai’in. Adapun yang berupa larangan hendaknya di jauhi dengan sejauh-jauhnya. Dan tentu tidak ada yang dapat melakukannya melainkan orang yang hidup yang masih sehat akal dan fikirannya serta masih terjaga fitrahnya. Sehingga jelaslah, bahwa Al-Qur’an memang untuk orang hidup bukan untuk orang mati.


Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.