sejarah perkembangan sosiologi antropologi

. POKOK PEMBAHASAN

1.  Sejarah Perkembangan Sosiologi

Sosiologi termasuk ilmu yang paling mudah dari ilmu-ilmu sosial yang di kenal. Seperti ilmu yang lain, perkembangan sosiologi dibetuk oleh setting sosialnya, dan sekaligus menjadikan setting sosialnya itu sebagai basis masalah pokok yang dikaji. Awal mula perkembangan sosiologi bisa dilacak pada saat terjadinya refolusi Prancis, dan revolusi industry yang terjadi sepanjang abad 19 yang menimbulkan kehawatiran, kecemasan, dan sekaligus perhatian dari para pemikir diwaktu itu tentang dampak yang ditimbulkan dari perubahan dahsyat dibidang politik dan ekonomi kapitalistik dimasa itu.

Tokoh yang sering dianggap sebagai “bapak sosiologi” adalah August Comte, seorang ahli filsafat dari Prancis yang lahir tahun 1798. August Comte mencetuskan pertama kali nama sociology dalam bukunya yang tersohor, positive philosophy, yang terbit tahun 1838. Istilah sosiologi berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan”dan kata Yunani Logos berarti “kata”atau “berbicara”. Jadi, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Menurut Comte, di dalam hirarki ilmu, sosiologi menempati urutan teratas diatas astronomi, fisika, kimia, dan biologi. Pandangan Comte yang dianggap baru pada waktu itu adalah ia percaya bahwa sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada kekuasaan serta spekulasi.

Istilah sosiologi menjadi lebih populer setangah abad kemudian berkat jasa Herbert Spencer ilmuan dari inggris yang menulis buku berjudul Princeples of Sociology (1876). Spencer menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.

Banyak ahli sepakat bahwa faktor yang melatar belakangi kelahiran sosiologi adalah kerena adanya krisis-krisis yang terjadi didalam masyarakat. Laeyendecker (1983), misalnya, mengaikatkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat. Proses perubahan dan krisis yang diidentifikasi Laeyendecker adalah tmbuhnya kapitalisme pada abad 15, perubahan-perubahan dibidang sosial politik, perubahan berkenaan dengan reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada abad ke-18, serta terjadinya revolusi Prancis. Sosiologi acap kali disebut sebagai “ilmu kerancang sampah” (dengan nada memuji), kerena membahas ikhwal atau masalah yang tidak dipelajari ilmu-ilmu yang ada sebelumnya dan karena kajiannya lebih banyak terfokus pada problem kemasyrakatan yang timbul akibat krisis-krisis sosial yang terjadi.

Sejak awal kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi, berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai “mekanisme” yang dikuasai hukum-hukum mekanis sosiologi lebih menempatkan warga masyarakat sebagai individu yang relative bebas. Para filsuf sosial, seperti Plato dan Aristoteles, umumnya berkeyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan dunia dan masyarakat langsung berasal dari suatu tertib dan keteraturan yang adimanusia, abadi, tidak perubahkan, dan ahistoris. Sementara sosiologi justru mempertanyakan keyakinan lama dari para filsuf itu, dan sebagai gantinya muncullah keyakinan baru yang dipandang lebih mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah menyadari bahwa bentuk kehidupan bersama adalah ciptaan manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat, gejala pelapisan sosial, dan pola-pola interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai hasil inisiatif atau hasil kesepakatan manusia itu sendiri.

Bahwa sosiologi baru memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya sekitar abad ke-19, tidaklah berarti bahwa baru pada waktu itu orang-orang memperoleh pengetahuan tentang bagaimana masyarakat dan interaksi sosial. Jauh sebelum Augus Comte memproklamirkan kehadiran sosiologi, orang-orang telah memiliki pengetahuan akan kehidupannya yang diperoleh dari pengalaman. Cuman, kerena belum terumus menurut metode-metode yang mantap, pengetahuan orang-orang itu disebut pengetahuan sosial bukan pengetahuan ilmiah atau ilmu.

Mengapa pengetahuan sosial tidak bisa di golongkan sebagai ilmu? Berbeda dengan pengetahuannya yang bisa di uji kembali kebenarannya, pengetahuan sosial memiliki sejumlah keterbatasan dan kelemahan. Leonardost Layendecker (1983) menyebut ada tiga keterbatasan dari pengetahuan sosial, yakni:

1. Karena pengetahuan sosial diperoleh orang dari lingkungannya yang ralatif terbatas.

Kehidupan masyarakat diluar lingkungan pergaulannya, meraka sama sakali tidak memahaminya

2. Karena pengetahuan sosial diperoleh secara selektif menurut emosi-emosi dan karakteristik pribadi masing-masing orang, sehingga besar kemungkinan atau sekurang kurangnya bukan tidak mungkin muncul bias.

3. Karena pengetanuan sosial acap kali diperoleh sejarah tidak sengaja, main-main, dan karenanya kurang dipikirkan secara mendalam dan tidak selalu di tinjau secara kritis.

Perkembangan sosiologi yang makin mantap terjadi tahun 1895 yakni pada saat Emile Dulkheim seorang ilmuan Prancis menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological Method. Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim mengeuraikan tentang pentingnya metode ilmiah didalam sosiologi ilmu untuk meneliti fakta sosial. Durkheim saat ini di akui banyak pihak sebagai “bapak metodologi sosiologi”, dan bahkan Reiss 1968, misalnya lebih setuju menyebut Emile Durkheim sebagai penyumbang utama kemunculan sosiologi. Durkheim, bukan saja mampu melembungkan perkembangan sosiologi di Prancis, tetapi juga ia telah berhasil mempertegas eksistensi sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah yang memiliki cirri-ciri terukur, dapat diuji, dan objektif.

Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia disebut sebagai fakta-fakta sosial, yakni sebuah kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal, tetapi mampu mempengaruhi prilaku individu. Dengan kata lain, fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Yang di maksud fakta sosial di sini tidak hanya yang bersifat material, tetapi juga non material, seperti culture, agama, atau institusi sosial.

Pendiri sosiologi lainnya, Max Weber, memiliki pendekatan yang berbeda dengan Durkheim. Menurut Weber sebagai ilmu yang mencoba memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya, sosiologi tidak semestinya berkutat pada soal-soal pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan sekedar mengkaji pengaruh faktor-faktor eksternal, tetapi yang lebih penting sosiologi bergerak pada upaya memahami di tingkat makna, dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor internal yang ada di masyarakat itu sendiri. Pada batas-batas tertentu, Waber dengan demikian mengajak para sosiolog keluar dari pikiran-pikiran ortodoks yang acapkali terlalu menekankan pada objektifitas dan kebenaran ekslusif, dan secara terbuka mengajak untuk mengakui relatifitas interprestasi. Secara substansial, pendekatan yang di tawarkan Waber memang berbeda dengan Durkheim. Tetapi, justru karena hal itulah perkambangan sosiologi kedepan tidak pernah stagnan, apalagi mati. Sebagai ilmu yang relatif baru, perkembangan sosiologi justru selalu mencoba mencari bentuk dan memperbaiki berbagai kekurangan yang ada.

Memasuki abad ke-20, perkembangan sosiologi makin variatif. Di pelopori oleh tokoh-tokoh ilmu sosial komtemporer, terutama Anthony Giddens, focus minat sosiologi dewasa ini bergeser dari structures ke agency, dari masyarakat yang di pahami terutama sebagai seperangkat batasan eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk anggota-anggota masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan prilaku mereka, menu kearah baru, memahami latarbelakang sosial sebagai kumpulan sumber daya yang diambil oleh aktor-aktor untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.

Sosiologi sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana kini sosiologi telah menerikma pandangan hermeneutika,menekankan bahwa realitas sosial secara intrinsik adalah bermakna (diberi makna oleh yang meproduksinya), dan untuk memahami realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang diberikan aktor tersebut.

Di era tahun 2000an ini, pekembangan sosiologi semakin mantap dan kehadirannya diakui banyak pihak memberika sumbangan yang sangat penting bagi usaha pembangunan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Bidang-bidang kajian sosiologi terus berkembang makin variatif dan menembus batas-batas disiplin ilmu lain. Horton dan Hunt (1987), misalnya mencatat sejumlah bidang kajian sosiologi yang saat ini telah di kenal dan banyak di kembangkan. Beberapa di antaranya adalah sosiologi terapan, prilaku kelompok, sosiologi budaya, prilaku menyimpang, sosiologi industry, sosiologi kesehatan, metodologi dan statistik, hukum dan masyarakat atau sosiologi hukum, sosiologi politik, sosiologi militer, perubahan sosiologi, sosiologi pendidikan, sosiologi perkotaan, sosiologi pedesaan, sosiologi agama, dan sebagainya. Di tahun-tahun berikut, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin komplek, bisa diramalkan bahwa perkembangan sosiologi juga akan makin beragam dan makin penting.[1]

Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang berhubungan dengan sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu. Para ahli filsafat pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 sudah menekankan peranan akal budi yang potensial dalam memahami prilaku manusia dan dalam memberikan landasan untuk hukum-hukum dan organisasi negara. Pemikiran mereka lebih di tekankan pada dobrakan utama terhadap pemikiran abad pertengahan yang bergaya skolastik atau dokmatis, dimana prilaku manusia dan organisasi masyarakat itu sudah dijelaskan dalam hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama.

Sejarawan dan filsuf sosial Islam Tunisia, Ibnu Khaldun (1332-1406), sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Karya ibnu khaldun tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul al muqoddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya yang di pandang sebagai karya besar di bidang tersebut. Dari kajiannya tentang watak masyarakat manusia, khadun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada di banding kehidupan kota dan masing-masing kehidupan ini memiliki karakteristik tersendiri. Menurut pengamatannya politik tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas. Lebih jauh lagi, ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang dalam slogan, pakaian, kendaraan, dan tradisinya. Selain itu, salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang mengemari kemewahan, kesenangan, dan kedamaian. Dan apabila hal-hal ini semuanya mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk dalam massa senja. Dengan demikian, kebudayaan itu adalah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja.

Pendapat khaldun tetang watak-watak masyarakat manusia di jadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat fase, yaitu fase primitif, fase nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh khaldun serign disebut dengan fase pembangunan, pemberi kabar gembira, penurut dan penghancur.

Jadi, peradaban-peradaban ditakdirkan tidak untuk bertahan lama dan tumbuh tanpa batas, tetapi untuk lebih menjadi mudah ditaklukan oleh orang nomaden yang kuat, keras, dan keberaniannya diperkuat oleh rasa solidaritas yang tinggi. Namun kemudian, penakluk-penakluk ini pun meniruh gaya hidup kebudayaan yang halus yang mereka taklukan, dan siklus terus terulang lagi. Model masyarakat yang khaldun gambarkan mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di jazirah Arab. Tujuanya tidak hanya untuk memberikan suatu diskripsi historis mengenai masyarakat-masyarakat Arab, tetapi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika masyarakat dan prises perubahan sosial secara keseluruhan. Semangat atau sikap ilmiahnya dalam menganalisis sosial budaya, pada umumnya mendekati bentuk penelitihan ilmiah modern, dan isinya secara substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial modern. Namun demikian, karya khaldun sudah banyak di abaikan oleh para ahli teori sosial Eropa dan Amerika, mungkin antara lain kerena dunia Arab saat itu mulai mundur, sedangkan Eropa dan Amerika semakin mendominasi.

Keadaan semacam itu tidak sekadar melandah dalam sosiologi sebab sampai menjelang pertengahan abad ke-19, hampir semua ilmu pengetahuan yang di kenal sekarang ini, pernah menjadi bagian dari filsafat dunia barat yang berperan sebagai induk dari ilmu pengetahuan atau mater scientiarum atau pun menurut Francis Bacon sebagai the gread mother of scinces. Pada waktu itu, filsafat mencakup segala usaha-usaha pemikiran mengenai masyarakat. Lama kelamaan, dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban manusia, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat memisahkan diri dan berkambang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu tentang perbintangan), dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang paling awal memisahkan diri, kemudian di ikuti oleh ilmu kimia, biologi dan giologi. Pada abad ke-19 kemudian muncul dua ilmu pengetahuan baru, yakni psikologi dan sosiologi. Begitu juga astronomi yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat yang bernama kosmologi, sedangkan alamiah menjadi fisika, filsafat kejiwaan menjadi psikologi, dan filsafat sosial menjadi sosiologi.

Dengan demikian, lahirnya sosiologi yang dalam pertumbuhannya dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, sejarah, politik, dan lain sebagainya. Lahirnya sosiologi sebagai ilmu sosial tidak lepas peranannya dari seorang tokoh brilian tetapi kesepian. Ia adalah Auguste Comte (1798-1857), yang tidak hanya menemukan nama untuk bidang studi yang belum dipraktikkan pada saat itu, tetapi juga mengklaim status masa depan ilmu pengetahuan tentang hukum yang mengatur perkembangan progresif, namun teratur dari masyarakat terutama dari hukum dinamika sosial dan hukum statis sosial. Pengetahuan yang akan diperoleh dengan menyebarkan metode ilmiah dari observasi dan eksperimen yang dapat diterapkan secara universal.

Auguste Comte mwnulis buku berjudul Course of Positive philosophy yang diterbitkan pada tahun antara 1830-1842, yang mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Buku tersebut merupakan ensiklopedia mengenai evolusi filisofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis tentang filsafat positif, yang semua ini terwujud dalam tahap akhir perkembangan. Singkatnya, dalam hukum itu menyatakan bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, terbagi dalam tiga stadium, yaitu:

  1. Tahap teologis, ditandai oleh kekuatan zat adikodrati Yang Mahakuasa;
  2. Tahap metafisik, ditandai oleh kekuatan pikiran dan ide-ide abstrak yang absolut;
  3. Tahap positif, yang ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positivistik untuk kemajuan dan keteraturan hidup manusia, dimana sosiologi akan menjadi pendeta agama baru.

Sosiologi yang lahir pada tahun 1839, berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan, dan logos yang berasal dari bahasa Yunani yang bararti kata atau berbicara. Dengan demikian, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Bagi comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan.

Tokoh ahli kemyasarakatan lainnya dari Inggris, yaitu Herbert Spencer (1820-1830), merupakan tokoh yang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret dan dituangkan dalam bukunya yang berjudul Prinsiples of sociology. Ia mengumukakan bahwa kunci memahami gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum evolusi universal. Gejala fisik, biologi, dan sosial itu semuanya tunduk pada hukum dasar tersebut. Kemudian prinsip-prinsip evolusi tersebut juga diperluas dari tingkat gilogis ke sosial sehingga semboyan survival of the fittest dalam Darwinisme sosial itu sebenarnya dari Herbert Spancer.

Emile Durkheim (1858-1917) banyak yang mengakui sebagai salah satu ”bapak ilmu sosiolgi” dalam perkembangan disiplin sosiologi sebagai disiplin akademik, mengikiti tradisi positivistik Prancis dan mengemukakan dalil keberadaan fakta sosial yang spesifik, yang telah ditinggalkan oleh bentuk studi lainnya, khususnya psikologi yang merupakan pesaing dari sosiologi yang paling nyata dalam tugas menjelaskan keteraturan di dalam tindakan manusia yang dapat diamati. Dalam bukunya yang berjudul The rules of Sociological Method, Durkheim mengajukan dalil bahwa fakta sosial itu tidak dapat direduksikan ke fakta individu, melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Inilah awal yang menegakkan awal sosiologi sebagai satu disiplin ilmu tersendiri terlapas dari psikoligi, walaupun pendapat tersebut di tentang oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti Max Wrber dan George C. Homnas dalam karyanya Social Behavior: Its Elementary Froms, kelompok reduksionis yang mengemukakan bahwa setiap usaha menjelaskan gejala sosial akhirnya harus didasarkan pada proposisi-prospoisi mengenai prilaku individu.

Apa yang membedakan fakta sosial itu dapat dibedakan dengan gejala individual? Bagi Durkheim, fakta sosial itu memiliki yang berbeda dengan gejala individual.

  1. Fakta sosial bersifat eksternal terhadap induvidu yang merupakan cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang memperlihatkan keberadaannya di luar kesadaran individu.
  2. Fakta sosial itu memaksa kepada individu, walaupun tidak dalam pengertian kepada hal-hal negatif. Melalui fakta sosial, individu tesebut dipaksa, dibimbing, diyakini, didorong, atau dipengaruhi dalam lingkungan sosial.
  3. Fakta sosial itu bersifat universal, oleh  karenanya tersebut secara luas dalam arti milik bersama, bukan sifat individu perorangan ataupun hasil penjumlahan individual, tetapi kolektif.

Dalam buku yang lain, Division of Labour in Socienty, Durkheim memusatkan konsep solidaritas sosial sebagai sebuah karya yang menaungi semua karya utamanya. Singkatnya, solidaritas sosial sebagai sebuah karya yang tpada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral serta kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Dalam hal ini, Durkheim menganalisis pengaruh atau fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembangian kerja dalam stuktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. Dalam arti bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial solidaritas sosial mekanik ke solidaritas sosial organik.

Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif (colective consciousness/conscience) yang mengacu pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Sedangkan dalam solidaritas organik, terdapat saling ketergantungan yang tinggi dan hal itu muncul kerena pembagian kerja yang bertambah besar sehinegga terbentuk spesialisasi dalam pembagian kerja. Karakteristik dalam timbulnya solidaritas organik tersebut ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memlihkan (restrictive) dari pada bersifat represif.

Pada saat yang hampir sama, Max Waber (1864-1920) tokoh pendiri akademik lainnya yang terinspirasi oleh tadisi Geisteswissenchaven dan Kulturlehre dan Jerman, berusaha membentuk disiplin baru. Sosiologi dibedakan oleh pendekatan dan pendangan interpretatifnya dari pada oleh pernyataan bahwa seperangkat fakta terpisah merupakan wilayah eksklusif untuk studinya. Bagi Weber, sosiologi dibedakan oleh usahanya untuk verstehen (memahami) tingkah laku manusia. Untuk fokus kajiannya itu, ia berbedah dengn Durkheim yang menekankan fakta sosial tersebut. Bagi Weber, kenyataan sosial itu sebagai sesuatu yang didasarkan pada motifasi individu dan tindakan sosial yang berarti. Dalam arti bahwa tinjauan Weber tersebut berubungan dengan posisi nominalis yang berpendirian bahwa hanya individulah yang riil secara objektif. Sebaliknya, masyarakat hanyalah satu nama yang mengunjuk pada sekumpulan individu-individu.

Akan tetapi, analisis substantif tidak mecerminkan suatu posisi yang  individualistik dengan ekstimnya. Dia pun mengikuti pentingnya dinamika kecendrungan sejarah yang besar pengaruhya terhadap individu, walaupun posisinya dapat dlihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan individualisme metodologis. Artinya, data ilmiah bagi ilmu sosial akhirnya berubungan dengan berbagai katagori interaksi manusia. Alasan mengapa menekankan pada kajian individu yang serbah subjektif? Kerena di masa hidupnya ia sangat menekankan idealisme dan historisme.

Dunia ilmu budaya tidaklah dapat di pandang sebagai sesuatu yang sesuai menurut hukum-hukum ilmu alam saja yang menyatakan hubungan itu bersifat kausal. Sebaliknya, dunia budaya harus dilihat sebagai dunia kebebasan dalam hubungannya dengan pengalaman dan pemahaman internal, dimana arti-arti subjektif itu dapat ditangkap. Sebab pengetahuan yang selalu objektif mengenai tipe yang dicari dalam ilmu-ilmu alam tidaklah memadahi. Pandangan semacam itu dikembangakan oleh guru Weber, yakni seorang sejarawan Jerman bernama Wilhelm Dilthey (1883-1911) yang menekankan tradisi idealis dan ilmu budaya yang menekankan verstehem (pemahaman subjektif) bertentangan dengan paradigma positivisme dari Prancis atau Durkheim tersebut.

Namun sebaliknya, Weber pun berpendirian bahwa sosiologi seharusnya merupakan suatu ilmu empirik, harus menganalisis prilaku aktual manusia secara individual menurut orientasi subjektif mereka sendiri. Hal itu pun yang membedakan secara tajam dengan kaum idealistik lainnya yang menurut anggapannya hanya menginterpretasikan prilak individu atau pun perkembangan sejarah suatu masyarakat sesuai dengan asumsi-asumsi apriori yang luas. Disini pula tinjauan Weber sesuai dengan positivisme karena menekankan arti pentingnya empirisme, tetapi bedanya Weber tetap tidak menghilangkan arti penting tentang subjektivisme.

Sosiologi berkembang dengan pesatnya pada abad ke-20 khususnya di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat, walaupun arah perkembangan dari ketiga negara tersebut berbeda-beda. Untuk perkembangan sosiologi di Inggris, walaupun di populerkan oleh John Stuar Mill dan Herbert Spencer, teryata sosiologi kurang berkembang pesat disana, dan hal ini berbeda dengan di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat.

Nama-nama, seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Karl Max, Manheil, Max Weber, Georg Simmell, Ralf Dahrendorf (Jerman), Vilfredo Pareto (Italia), Pitirim Sorokin (Rusia), Charles Horton Cooley, Talcot Parsons, George Herbert Mead, Lester F. Ward, Erving Goffman, Lewis Coser, Randall Collins (Amerika Serikat), beserta tokoh sosiolog lainnya yang terkemuka dalam perkembagan sosiologi di Eropa dan Amerika. Dari ke dua benua inilah sosiologi kemudian menyebar ke benua dan negara-negara lain, termasuk ke Indonesia. Singkatnya para pelopor yang mengembangkan dasar-dasar sosiologi merasa yakin bahwa mereka hidup dalam massa penting yang menentukan dalam sejarah.

Sejalan dengan berkembangnya analisis yang hidup dan berpengaruh mengenai revolusi-revolusi ilmu pengetahuan, Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions, mengacuh pada asumsi-asumsi intelektual yang disebutnya dengan istilah paradigma. Suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (World view atau Weltanschauung) yang dimiliki oleh para imuan dalam suatu disiplin ilmu tertent. Kemudian timbul pertayaan, apakah sosiologi di dominasi oleh suatu paradigma saja? Dapat saja secara umum orang menjawabnya ”ia”. Akan tetapi, di balik pandangan yang umum tersebut terdapat perbedaan yang mencolok dalan asumsi-asumsi dasar dari para ahli sosiologi tersebut. Oleh karena itu, George Ritzer dalam sociology: A Mutiple paradigm science, menolak anggapan tersebut. Dia membedakan tiga paradigma yang secara fundamental sangat kontras, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma prilaku sosial.

Hal yang mendasar dalam distingsi ini adalah perbedaan-perbedaan dalam asumsi dasarnya mengenai hakekat kenyataan sosial. Paradigma fakta sosial yang diwakili Emile Durkheim selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik sangat mencolok, dan pada masa kini dalam fungsionalisme dan teori konflik (Marxis dan non Marxis, seperti Dahrendorf, Coser, dan Collins) yang menekankan ide bahwa fakta sosial adalah riil atau sekurang-kurangnya dapat diperlakukan sebagai yang riil, sama seperti fakta individu. Selain itu, fakta sosial tidak dapat direduksi ke fakta individu, fakta sosial memiliki realitasnya sendiri. Struktur sosial dan institusi sosial merupakan salah satu di antara fakta sosial tersebut yang mendapat perhatian khusus dari para ahli sosiologi.

Banyak para ahli ilmu sosial modern yang menaruh minat serta perhatiannya pada berbagai perubahan sosial yang terjadi belakang ini. Beberapa ahli di antaranya berusaha untuk menunjukkan kecenderunangan yang memungkinkan dapat di buatnya proyeksi-proyeksi tentang masa depan. Dan, kebangkitan yang paling berkembang serta mengakibatkan munculnya kritik yang luas dan penolakan terhadap apa yang di sebut Anthony Giddens sebagai konsensus dan Luckman (1966), revolusi tersebut di topang oleh melimpahnya reformulasi radikal dari subjek persoalan dan srategi yang tepat dari karya-karya sosiologi. Karya Alfred Schutz, Life Forms and Meaning Structure merupakan inspirasi dan otoritas teoritis yang utama.

Telah muncul keterbukaan yang lebih luas dari sosiologi terhadap perkembangan dan bentuk-bentuk disiplin sosial lainnya yang secara umum bergerak di bidang kebudayaan. Terlapas dari fenomenologi dan hermeneutika, pengaruh yang sangat kuat pada teori kritis dari Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam pemikiran filsafat kritis The Dialectic of Enlightenment (1949), Semiotik dari Levi-Strauss dan Rolan Bartes dalam buku metologies (1957) dan Element of Semiology (1964), filsafat pengetahuan dari Mitchel foucault dalam The Order of Things: an Arceology of the human science (1973) dan arceology of  Knowletge (1969), historiografy dari Fernand Braudel yang merupakan sejarah sosial  dalam The Mediteranean and The Mediteranean World inthe age of Philip II (1966), dan telefision: a Challenge to the Psychoanalitic Establisment, serta dekonstruksi dari jakues derrida mengenai teori tentang tulisan dalam OF Gramatology (1967) selain itu, semakin berkembang penulisan sosiologi yang di warnai pemikiran karakter transnasional. Contohnya adalah dampak luas dari karya Jurgen Habermas (1979), teori komunikasi karya Nikolas Luhman, teori sistem ditinjau kembali karya ulrich Beck (1992), Risiko Gesellschaft, analisis Frederik Barth tentang batas-batas etnis atau gagasan modal kultural, dan habitus dari Pieree Bourdieu (1985).

Mereka percaya akan adanya indikasi-indikasi bahwa kita ini ada pada jalan pintas yang dalam jangka panjang dapat menjadi penting untuk masa depan, seperti halnya revolusi industri di masa silam. Sebut saja Danil Bell dalam karyanya  the Coming of Post-Industrial Society, ia menganalisis munculnya masyarakat pascaindustri. Ia berpendapat bahwa dalam masyarakat pascaindustri dicirikan suatu tipe masyarakat yang lebih menekankan pada produksi  jasa, bukan barang-barang. Hal itu akan mencakup suatu transformasi besar dalam masyarakat dunia umumnya. Jika suatu masyarakat industri di dasarkan pada harta benda sebagai indikatornya maka pengetahuan teoretis akan menjadi suatu teori nilai kerja sampai kepada suatu teori nilai pengetahuan. Menurutnya, perubahan dalam dasar kehudupan sosial ini pun di tandai oleh adanya suatu perubahan dalam struktur kelas. Kelas sosial baru yang dominan bukan lagi suatu kelas borjuis pemilik harta benda, tetapi suatu inteligensia sosial, yaitu suatu kelas maupun individu yang mendominasi bentuk-bentuk pengetahuan teoretis, seperti para guru, dokter, konsultan, pengacarah, ilmuan, insinyur, dan profesi keilman lainnya.

Di Indonesia, walaupun secara formal sebelum kemerdekaan belum berkembang sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, namun menurut Selo Soemardjan banyak di antara para pujangga dan pemimpin-pemimpin kita yang telah memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajarannya (1965).

Sebagai contoh, ajaran wulang reh yang di ciptakan oleh Mangkunegara IV dari Surakarta, penuh dengan tata hubungan golongan yang berbeda-beda pada masyarakat jawa, terutama menyangkut intergroup relations. Kemudian ajaran-ajaran ki Hajar Dewantara  banyak membahas tentang kepemimpinan dan kekeluargaan yang di terapkan pada pendidikan taman siswa.[2]

A. Awal Perkembangan Sosiologi

  • Auguste Comte, filsafat Perancis abad ke-19 (1798-1857)
  • Sebelum Comte, yaitu Plato (429-347 SM)
  • Aristoteles (384-322 SM)
  • Akhir abad pertengahan (1372-1404), filsuf Arab Ibnu Khaldun.
  • Zaman Renaisance (1200-1600) yaitu Thomas More terkenal dengan UTOPIA-NYA DAN CAMPANELLA yang kemudian menulis CITY OF THE SUN.

Auguste Comte membagi tiga tahap perkembangan intelektual yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap-tahap sebelumnya:

  1. Tahap Teologi atau Fiktif

Dimana manusia menafsirkan gejala-gejala sekelilingnya secara teologis atau dasar pemikiran manusia yang masih primitif.

  1. Tahap Metafisika

Dimana manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala pasti terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya dapat ditentukan.

  1. Tahap Merupakan Tugas Ilmu Pengetahuan Positif

Berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan memusatkan perhatian pada gejala yang bersifat nyata dan konkrit.

B. Timbulnya Sosiologi Modern

  • Filsafat yang dikenal sebagai MASTER SCIANTRUM (Induk semua ilmu pengetahuan)
  • Pertengahan abad 20 adanya perubahan mewarnai sosiologi, yang dilakukan oleh Emile Durkheim (1858-1917)
  • W. I. Thomas (1863-1947), yang memberikan perkembangan baru di Amerika Serikat.
  • Pada saat Perang Dunia II dan terus berlangsung sampai sekarang.
  • Ilmuan Herbert Spencer (1176) yang menggabungkan teori penting tentang evolusi social. Dengan merubah masyarakat yang primitif menjadi masyarakat industri.
  • Seorang sosiolog Amerika Lesward (1883) menerbitkan karyanya Dinamic Sociology. Perkembangan sosiologi dapat digerakan melalui aktivtas sosial yang hubungannya dapat dilakukan oleh para sosiolog.
  • Emile Durkheim, pada tahun 1895 menulis Rule Of sociological Method, yang klasifikasi studinya adalah kelompok masyarakat di beberapa Negara.
  • Max Weber (1884-1920), Ilmu sosiologi itu berdasarkan gejala dunia kehidupan bersama.

C. Sosiologi di Indonesia

Prof. DR. Soerjono Soekanto perkembangan sosiologi di Indonesia ada 2 metode, yaitu:

  1. Perkembangan sosiologi sebelum perang dunia II sebelum proklamasi para pujangga dan pemimpin Indonesia telah memasuki unsur-unsur sosiologi ke dalam ajarannya :
  • Sri Paduka Mangkunegara IV dari Surakarta yang terkenal dengan ajaran Wulang Reh.
  • Alm. Ki. H. Dewantara sosiologi tidak digunakan dalam satu ajaran ataupun teori murni sosiolog, tetapi untuk Ajaran Tata Hubungan Antara Manusia Dan Pendidikkan.
  • Karya-karya sarjana Belanda: Snouck Hurgronye, Van Vollen Hoven, Ter Hear dll, yang mengambil masyarakat sebagai obyek perhatian unsur-unsur sosiologi dan dikupas secara ilmiah.
  • Periode Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (Recht Hongeschool). Pada tahun 1934/1935 bahwa ditempat ini tidak diberikan pelajaran kuliah, kerana tidak adanya hubungannya dalam pelajaran hukum.
  1. Perkembangan sosiologi setelah Perang Dunia II: Suasana Revolusi fisik terasa kehausan golongan terpelajar akan ilmu pengetahuan untuk membantu usaha-usaha mereka dalam hal memahami perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.

D. Ringkasan

  1. Auguste Comte (Bapak Sosiologi) filsuf Perancis (Awal abad 19/ 1798-1857).
  2. Sebelum Auguste Comte ada: Plato, Thomas More, Campanelia merupakan pemuka dalam perkembangan sosiologi.
  3. Ada pun hambatan yang terjadi dalam perkembangan sosiologi yaitu adanya perlawanan dari mereka yang meragukan adanya kemungkinan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan karena di awal perkembangan sosiologi belum ada ahli-ahlinya.
  4. Comte membedakan ruang lingkup dan isi sosiologi dari ruang lingkup dan ilmu-ilmu lain, yaitu dalam 3 tahap: Teologis atau fiktif, Metafisika, dan Perkembangan Manusia.
  5. Timbulnya sosiologi modern diawali proses perubahan bentuk dari cabang filsafat sosial kesatuan cabang ilmu. Pada abad ke 19 dan 20 sosiologi menunjukkan adanya perubahan. Orang yang berpengaruh terhadap hal ini adalah Emile Durkheim (1858-1917) dan W.I. Thomas (1863-1947). Sosiologi di Indonesia sebelum Perang Dunia II: Sri Paduka Mangkunegara IV (Surakarta), Mengajarkan Wulang Rei (Tata hubungan antara para anggota masyarakat jawa), konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan yang diterapkan dalam organisasi pendidikkan Taman Siswa oleh Ki. H. Dewantara.[3]

2. Sejarah Perkembangan Antropologi

Disiplin antropologi, sebagaimana yang telah kita kenal merupakan produk peradaban Barat yang relatif baru. Dalam sejarah lahirnya antropologi, perkembangan ilmu tersebut melalui suatu tahapan panjang. Koentjaraningrat (1987: 27-28) memaparkan bahwa lembaga-lembaga antropologi etnologi merupakan awal lahirnya antropologi. Lembaga societe Etnologuque didirikan di Paris tahun 1839 oleh cendikiawan M. Edwards, tetapi lambat laun lembaga ini terdesak oleh istilah sociologique atau sosiologi. Sedangkan di London didirikan The Ethnological Society oleh seorang tokoh anti perbudakan T. Hodgking. Tujuan didirikannya lembaga ini adalah menjadi pusat pengumpulan dan studi dari bahan etnografi yang berasal dari sebanyak mungkin kebudayaan di dunia ini. 25 tahun kemudian (1872), di London diterbitkan buku Notes and Queries in Anthropology, untuk menyusun pedoman dalam mengumpulkan etnografi secara teliti.

Etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), secara resmi diakui dalam dunia perguruan tinggi di Inggris dengan diadakannya suatu mata kuliah di Universitas Oxford tahun 1884, dengan E.B. Tylor sebagai dosen yang pertama. Tylor adalah seorang ahli arkeologi yang mendapatkan apendidikan sastra tentang peraban Yunani dan Romawi kuno. Tylor banyak berjasa dalam mengembangkan antropologi, pada tahun 1871 ia menulis Researches into the History Mankind, tempak pendiriannya sebagai penganut evolusionisme. Sedangkan karya yang terpenting adalah Primitive Cultural: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Relegion, Language, Art, and Custom. Di samping itu, ia menulis tentang evolusi keluarga, dalam bukunya On a Method of Investigating the Development of Institutions. Ia mengemukakan bahwa keluarga berevolusi dari sistem matriarchate ke tingkat patriarchate (suatu pendirian yang mula-mula berasal dari JJ. Bachove).

Di Amerika Serikat, etnologi diakui secara resmi dengan dibukanya Department of Archeology and Ethnology di Universitas Harvard pada tahun 1888. Dlam perkembanganya, lembaga etnologi di Amerika tersebut terdesak oleh istilah antropologi, sebagai ilmu tentang manusia dalam segala aspeknya, baik fisik maupun budayanya dari manusia dahulu hingga sekarang (Koentjaraningrat, 1987: 29). Lewis H. Morgan (1818-1881) adalah perintis dan pelopor yang memberikan andil besar kepada ilmu antropologi. Ia mula-mula seorang ahli hokum yang tinggal di daerah hulu sungai St. Lawrence dan di selatan danau Ontario dan Erie (Negara bagian New York) sebagai pengacarah. Dengan memperoleh wawasan dan pengetahuan yang luas tentang etnis Indian itu secara langsung dalam bidang etnografi, Morgan banyak mengupas sistem kekerabatan (Kinship sistem) hampir pada semua suku bangsa Indian yang sangat beragam dan berbeda itu.

Karya utama Morgan berjudul Ancient Society (1877) yang melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan melalui 8 tingkat evolusi yang universal. Namun, teori Morgan mengenai evolusi kebudayaan tersebut dikecam keras oleh para antropolog dari Inggris maupun Amerika hingga tidak di jadikan sebagai pendiri antropolog yang diakui dunia. Namun, di Uni Soviet, teori Morgan demikian populer kerena bersesuaian dengan ajaran Karl Marx dan F. Engels mengenai evolusi masyarakat manusia.

Menurut Boas, pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsur-unsur lama kearah pinggir sekeliling daerah pusat pertumbuhan budaya tersebut. Oleh kerena itu, jika hendak mencari unsur-unsur kuno maka tempat yang relevan untuk mendapatkannya adalah daerah-daerah pinggir (Marginal). Boas pun telah meletakkan suatu konsepsi dasar yang sampai sekarang ini di anut oleh hampir semua universitas di Amerika Serikat yaitu, kesatuan dari semua ilmu tentang manusia dan kebudayaannya, yaitu ilmu paleoantropologi, antropologi fisik, arkeologi prasejarah, etnolinguistik, dan antropologi budaya yang menjadi subilmu antropologi secara keseluruhan. Kemudian ia mendirikan jurusan antropologi di universitas Kolombia, New York, dan sejak itu beberapa unversitas lainnya di Amerika Serikat mengikuti jejaknya dengan mengadakan sub-sub ilmu tersebut sebagai bagiannya.

Dalam pekembangan selanjutnya para evolusionistis masih meyakini bahwa sejarah sosial dan budaya umat manusia dapat di tata dalam serangkaian tahap-tahap baku, walaupun masing-masing populasi berkembang dengan kecepatan yang berbeda. Gagasan pokok ini telah digoyahkan oleh kritik-kritik para boasian (pengikut teori Boas) dan ilmuan-ilmuan lain awal abad ke-20, tetapi masih dipegang teguh oleh beberapa madzab arkeologi dan dilanggengkan oleh penulis-penulis Marxis.

Memang terdapat usaha-usaha untuk membangkitkan kembali sejarah evolusionis yang bersifat umum dan dalam bentuk yang lebih canggih. Ada pula studi-studi rinci tentang tipe-tipe kasus yang sengaja di rancang untuk menerangakan proses evolusi. Contohnya, Richard Lee (1979) meneliti secara rinci tentang kehidupan ekonomi suku Kung Bushman yang bertujuan mencari petunjuk-petunjuk tentang cara hidup populasi zaman Upper Palaeolithic. Studinya memperlihatkan bahwa Kung dapat mempertahankan cara hidup dengan teknologi sederhana di lingkungan yang sulit, dan rincian-rincian organisasi sosial ekonomi. Kung secara luas di ambil sebagai contoh paragdimatis dari kehidupan berburu-meramu sekarang dan di masa lalu . Sebuah kritik yang kuat pengaruhnya menyatakan bahwa suku Kung justru dapat di pahami dalam konteks sejarah modern mereka yang tersendiri. Mereka telah mewarisi kontek berabad-abad dengan para pastur berbahasa Bantu serta orang-orang kolonial Eropa, cara hidup mereka menunjukkan adaptasi devensif terhadap eksploitasi. Ada pula yang berpendapat pemahaman terbaik terhadap budaya Kung adalah contoh local dari sebuah tradisi budaya yang khusus, sebagaimana pandangan pastur orang-orang khoisan serta kelompok-kelompok Bushmen di Gurun Kalahari. [4]

Disiplin antropologi adalah produk peradaban barat yang relative baru. Di amerika serikat misalnya, kuliah antropologi umum yang diberi kredit di college atau universitas, diberikan di universitas Vermont, namun baru pada tahun 1886.

Lambanya perkembangan antropologi itu sebagian dapat dijawab dengan merujuk kepada keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh manusia. Hampir sepanjang perjalananya, cakrawala geografis manusia sangat terbatas.  Tanpa adanya sarana untuk mengadakan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh didunia, observasi tentang kebudayaan dan orang-orang yang jauh dari tempat tinggalnya sulit kalau tidak mustahil untuk dikerjakan. Biasanya tidak banyak orang yang mempunyai kesempatan khusus untuk mengadakan banyak perjalanan. Studi tentang bangsa-bangsa dan kebudayaan asing tidak dapat diharapkan berkembang sebelum cara-cara transportasi dan komunikasi yang memadai dapat dikembangkan.

Unsur lain yang penting, yang ikut menyebabkan lambanya perkembangan antropologi adalah kegagalan orang eropa untuk melihat bahwa mereka dan bangsa-bangsa di daerah-daerah lain memiliki sifat kemanusiaan yang sama. Masyarakat-masyarakat yang tidak berpegang kepada nilai-nilai pokok kebudayaan orang eropa dianggap “buas” atau “biadab.” Baru pada akhir abad ke delapan belas cukup banyak orang eropa berpendapat bahwa perilaku bangsa-bangsa asing itu sama sekali relevan untuk memahami diri merrreka sendiri. Kesadaran tentang keanekaragaman umat manusia itu, yang dating pada waktu orang lebih banyak berusaha menerangkan segala sesuatu berdasarkan hukum alam, menimbulkan kesangsian tentang mitologi injil yang tradisional, yang tidak memberi “keterangan” yang memadai lagi tentang keanekaragaman manusia. Dari pemikiran ulang yang kemudian terjadi, timbullah kesadran bahwa studi tentang bangsa-bangsa “biadab” itu adalah studi tentang umat manusia seluruhnya.[5]

Antropologi menjadi sebuah subyek akaademis yang berdiri sendiri pada abad ke Sembilan belas. Beberapa lembaga dan badan ‘etnologi’ mulai bermunculan di eropa dan amerika, sebagian besar memusatkan perhatian pada penelitian  sifat-sifat fisik, bahasa dan budaya masyarakat yang ‘belum beradab.’ Sir Edward tylor menjadi dosen antropologi di Oxford pada 1884, dan pada 1888 beberapa fakultas mulai dibuka di universitas Harvard dan universitas Clark di Amerika.

Hampir sepanjang abad kesembilan belas, status pasti antropologi masih belum jelas. Antroppologi mencakup segala hal, mulai dari mengukur bentuk dan ukuran kepala sampai mengumpulkan artefak untuk mengisi museum-museum dikota-kota universitas di eropa. Kaitanya dengan sains, terutama zoology dan biologi, masih erat, dan itu masih dapat diamati sampai saat ini di museum pitt-Rivers di oxford. Disini, benda-benda etnik, sesuai dengan piagam resmi museum abad kesembilan belas, masih dikelompokan secara tipografi, seperti pengelompokan spesies-spesies tanaman dan hewan. Pengorganisasian seperti itu lazim bagi mereka yang menganggap antropologi sebagai sains tentang ras manusia yang memusatkan perhatian pada studi banding ras-ras manusia.

Pada 1898, sebuah ekspedisi di kirim ke selat torres dari Universitas Cambridge di Inggris untuk melakukan penelitihan antropologi abad ke-19 dan antropologi yang akan datang. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Alfred Haddon, seorang curator museum, ahli zoologi, dan pakar hewan tropis, dan didorong oleh keprihatinannya kerena begitu banyak adat istiadat bangsa Melanesia yang hilang. Ia melakukan pengukuran fisik terhadap penduduk asli, mencatat adat istiadat setempat, dan mempelajari kesenian; Rivers, seorang ahli psikologi mengumpulkan data sosiologi dan mempelajari persepsi visual penduduk kepulauan tersebut; yang lain bekerja dengan mendengar, membaui, mempelajari obat-obatan pribumi dan linguistik. Artevak dan tengkorak-tengkorak di kumpulkan.

Ekspedisi ini layak dipertimbangkan karena melibatkan para pakar terlatih yang bekerja dilapangan, mengumpulkan informasi yang dicatat secermat mungkin. Satu hasil yang terpenting adalah disempurnakannya metode pengumpulan silsila individu oleh Revers, hubungan mereka dengan orang tua, anak-anak, kakek nenek mereka, dan sebagainya. Dengan demikian, ia melakukan penelitian awal yang penting dalam stadi pertalian keluarga (kinship), sebuah penelitihan lapangan yang oleh seorang ahli antropoligi digambarkan sebagai sesuatu yang sama pentingnya dengan ‘logika bagi filosofi atau kebugilan bagi seni’.

George Stocking, seorang ahli antropologi sejarah dari Amerika, membedakan prilaku banyak warga Inggris Victoria dengan masyarakat non Eropa dengan cara berikut:

‘… Meskipun posisi relatif dari berbagai bangsa biadab masih diperdebatkan… karakteristik umum dari orang-orang biadab itu sudah cukup jelas. Berkulit gelap dan bertubuh kecil, tidak menarik, tidak memakai pakaian dan kotor, melakukan sex bebas dan brutal teradap kaum perumpuan mereka, mereka menyembah roh yang menghidupkan binatang atau bahkan kayu atau batu…’

Secara jelas, gambaran yang dimunculkan adalah gambaran seseorang yang bukan saja terasing secara giografis, tapi juga kebalikan dari gambaran ideal seorang pria Victoria: berkulit putih, menarik, bersih (sifat ini, bisa dikatakan, mendekati sifat sholeh), setia pada satu istri dan menyembah pada satu Tuhan. Gagasan itu jelas menggambarkan evolusi budaya, sebuah gagasan yang berhasil menjadi sebuah teori yang dominan di abad ke-19.[6]

3. Fase-Fase Perkembangan Ilmu Antroplogi

Fase pertama (sebelum 1800). Suku-suku bangsa penduduk pribumi amerika, asia dan amerika mulai didatangi oleh orang eropa barat sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, dan lambat laun dalam suatu proses yang berlangsug kira-kira empat abad lamanya, berbagai daerah dimika bumi mulai terkena pengaruh Negara-negara eropa barat. Bersama dengan perkembangan itu mulai terkumpul suatu himpunan besar dari buku-buku kisah perjalanan, laporan, dan sebagainya, buah tangan para musafir, pelaut, peneta penyiar agama Nasroni, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai Pemerintah jajahan. Dalam buku-buku itu ikut termuat suatu himpunan besar dari bahan pengetahuan berita deskripsi tentang adat istiadat, susnan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari beraneka warna suku- bangsa di Afrika, Asia, Oseania (yaitu kepulauan di lautan teduh) dan suku suku bangsa Indian, penduduk pribumi Amerika. Bahkan deskripsi, deskripsi itu amat menarik perhatian orang Eropa karena semuanya itu tentu sangat berbeda beda dari adat istiadat susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik bangsa-bangsa Eropa Barat. Bahan pengetahuan tadi disebut bahan etnografi, atau deskripsi tentang bangsa-bangsa (dari kata ethos bangsa). Deskripsi-deskripsi tadi biasanya tidak teliti, sering kali bersifat kabur, dan kebanyakan hanya memperhatikan hal-hal yang dalam mata orang Eropa tampak aneh saja, walaupun ada pula karangan-karangan yang baik dan lebih teliti sifatnya.

Justru karena keanehannya, maka bahan etnografi tadi amat menarik perhatian kalangan terpelajar di Eropa Barat sejak abad ke-18. Kemudian dalam pandangan orang Eropa timbul tiga macam sikap yang bertentangan terhadap bangsa-bangsa di Afrika Asia, Osenia, dan orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu:

1.  Sebagian orang Eropa memandang akan sifat keburukan dari bangsa-bangsa jauh tadi itu, dan mengatakan bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia sebenarnya; bahwa mereka manusia liar, turunan iblis dan sebagainya dengan demikian timbul istilah-istilah seperti safages, primitifes, yang di pakai orang Eropa untuk menyebut bangsa-bangsa tadi

2. Sebagian orang Eropa memandang akan sifat-sifat baik dari bangsa-bangsa jauh tadi, dan mengatakan bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah contoh dari masyarakat yang masih murni, yang belum kemasukan kejahatan dan keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat waktu itu.

3. Sebagian orang Eropa tertarik adat istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika pribumi tadi itu. Kumpulan-kumpulan pribadi tadi ada yang dihimpun menjadi satu, supaya dapat di lihat oleh umum, dengan demikian timbul musium-musium pertama tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa.

Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan pengetahuan tentang masyarakat, adat istiadat dan ciri-ciri fisik bangsa-bangsa diluar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat besar, demikian besarnya sehinga timbul usaha-usaha pertama dari dunia ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan etnografi tadi menjadi satu.

Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke-19). Integrasi yang sungguh baru timbul pada pertengahan abad ke-19, waktu timbul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi tersebut berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat dirumuskan sebagai berikut: masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat dalam satu jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi itu adalah bentuk-bentuk seperti apa yang hidup di Eropa Barat itu. Semua betuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa, yang oleh orang Eropa di sebut primitif, dianggap sebagai contoh-contoh dari tingkat-tingkat kebudayaan yang lebih rendah, yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan-kebudayaan manusia zaman dahulu. Berdasarkan rangka cara berfikir tersebut, maka semua bangsa di dunia dapat digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi itu. Dengan timbulnya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beraneka warna kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingakat-tingkat evolusi yang tertentu, maka timbullah ilmu antropologi.

Kemudian timbul pula beberapa kerangan yang hendak meneliti sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu di anggap sebagai sisa-sisa dan contoh-contoh dari kebudayaan yang kuno. Sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu orang dapat menambah pengertiannya tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam fase perkembangannya yang kedua ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal; dengan tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitive dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase ketiga (permulaan abad ke-20). Pada permulaan abad ke-20, sebagaian besar dari Negara-negera penjajah di Eropa masing-masing berhasil untuk mencapai kemantapan kekausaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya tadi, yang waktu itu mulai beradapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa, maka ilmu atropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting. Bersangkutan erat dengan itu dikembangakan pendirian bahwa memperlajari bangsa-bangsa di luar Eropa itu penting, karena bangsa-bangsa itu pada umumnya masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti masyarakat bangsa-bangsa Eropa.

Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan mempelajari kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang komplek.

Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang terurai di atas itu, terutama berkembang di negara Inggris sebagai negara penjajah yang utama, tetepi juga dihampir semua negara kolonial lainnya. Juga ilmu antrolopogi di Amerika Serikat, yang bukan negara kolonial, tetapi yang mengalami berbagai masalah yang berhubungan dengan suku-suku bangsa Indian penduduk pribumi Benua Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu antrolopogi yang baru tadi.

Dalam fase ketiga ini ilmu antrolopogi menjadi suatu ilmu yang pratis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.

Fase keempat (sesudah kira-kira 1930). Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Kecuali itu kita lihat adanya dua perubahan di dunia:

  1. Timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesudah perang dunia II.
  2. Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah perang dunia II memang hampir tak ada lagi di muka bumi ini.

Proses-proses tersebut menyebabkan bahwa ilmu antropologi seolah-oleh kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitihan dengan pokok dan tujuan yang baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan semula, yaitu yang pertama, kedua, ketiga, perupa bahan etnografi dan banyak metode ilmiah, tentu tidak dibuang demikian saja, melaikan dipakai sebagai landasan bagi perkembanganya yang baru. perkembangan itu terutama terjadi di universitas-universitas di amerika serikat, tetapi menjadi umum di negara-negara lain juga setelah tahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli antropologi dari berbagai negara di amerika dan eropa (termasuk Uni Soviet), mengadakan suatu symposium internasional untuk meninjau dan merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang baru itu.

Pokok atau sasaran dari penelitian para ahli antropologi sudah sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 1930, memang tidak lagi hanya suku-suku bangsa primitive yang tinggal dibenua-benua diluar eropa saja, melainkan sudah beralih kepada manusia di daerah pedesaan pada umumnya, ditinjau dari sudut anekawarna fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaannya. Dalam hal itu perhatian tidak hanya tertuju kepada penduduk daerah pedesaan diluar benua Eropa, tetapi juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan Eropa (seperti suku-suku bangsa soami, lam, Lapp, Albania, Irlandia, penduduk pegunungan Sierra dan lain-lain), dan kepda penduduk beberapa kota kecil di Amerika Serikat( Meddletown, Jonesville, dan lain-lain.

Mengenai tujuanya, ilmu antroplogi yang baru dalam fase perkembanganya yang keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal, dan tujuan praktisya. Tujuan akademikalnya adalah: mencapai pengertian tentang mahluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaan. Karena di dalam praktek ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat suku-bangsa, maka tjuan praktisnya adalah: mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku-bangsa guna membangun masyarakat suku-bangsa itu.[7]

C. ANALISIS DAN DISKUSI

Menurut hasil diskusi kami bahwa:

1. Sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu.

2. Munculnya ilmu antropologi sikitar tahun 1860 di Eropa, munculnya ilmu antropologi disebabkan adanya beberapa karangan yang mengklasifikasikan bahan tentang berakeka warna kebudayaan di seluruh dunia kedalam tingkat-tingkat evolusi yang tertentu.

3. Jumlah fase-fase perkembangan ilmu antropologi ada empat fase:

a. Fase pertama pada tahun sebelum 1800

b. Fase kedua kira-kira pada abad pertengahan ke-19

c. Fase ketiga muncul pada permulaan abad ke-20

d. Fase keempat kira-kira sesudah tahun 1930

D. KESIMPULAN

Sesuai dengan rumusan masalah maka dapat kami simpulkan:

1. Sejarah perkembangan sosiologi menurut isu-isu serta pemikira dan perhatian intelektual sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu, tetapi sosiologi berkembang dengan pesatnya pada abad ke-20 khususnya di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat, walaupun arah perkembangan dari ketiga negara tersebut berbeda-beda. Untuk perkembangan sosiologi di Inggris, walaupun di populerkan oleh John Stuar Mill dan Herbert Spencer, teryata sosiologi kurang berkembang pesat disana, dan hal ini berbeda dengan di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat.

2. Dalam sejarah lahirnya antropologi, perkembangan ilmu tersebut melalui suatu tahapan panjang. Koentjaraningrat, memaparkan bahwa lembaga-lembaga antropologi etnologi merupakan awal lahirnya antropologi. Lembaga societe Etnologuque didirikan di Paris tahun 1839 oleh cendikiawan M. Edwards, tetapi lambat laun lembaga ini terdesak oleh istilah sociologique atau sosiologi. Etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), secara resmi diakui dalam dunia perguruan tinggi di Inggris dengan diadakannya suatu mata kuliah di Universitas Oxford tahun 1884, dengan E.B. Tylor sebagai dosen yang pertama.

3. Ada empat fase yang pertama Fase pertama (sebelum 1800). Suku-suku bangsa penduduk pribumi amerika, asia dan amerika mulai didatangi oleh orang eropa barat sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, dan lambat laun dalam suatu proses yang berlangsug kira-kira empat abad lamanya, berbagai daerah dimika bumi mulai terkena pengaruh Negara-negara eropa barat. Bersama dengan perkembangan itu mulai terkumpul suatu himpunan besar dari buku-buku kisah perjalanan, laporan, dan sebagainya, buah tangan para musafir, pelaut, peneta penyiar agama Nasroni, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai Pemerintah jajahan.

Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke-19). Integrasi yang sungguh baru timbul pada pertengahan abad ke-19, waktu timbul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi tersebut berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat dirumuskan sebagai berikut: masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat dalam satu jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi.

Fase ketiga (permulaan abad ke-20). Pada permulaan abad ke-20, sebagaian besar dari Negara-negera penjajah di Eropa masing-masing berhasil untuk mencapai kemantapan kekausaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya tadi, yang waktu itu mulai beradapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa, maka ilmu atropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting.

Fase keempat (sesudah kira-kira 1930). Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya.

DAFTAR RUJUKAN

Dadang Supardan, 2009. PENGENTAR ILMU SOSIAL, Jakarta: Bumi Aksara.

http://.id.wikipedia.org/wiki/sosiologi

J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR DAN TERAPAN.

Koentjaraningrat, 2002. PENGENTAR ILMU ANTROPOLOGI, Jakarta: Rinek

a Cipta.

William A. haviland, Antropologi

Simon Coleman dan Helen Watson, Pengentar Antropologi.


[1] J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR DAN TERAPAN.Hal:4-8

[2] Dr. H. Dadang Supardan PENGANTAR ILMU SOSIAL, Hal:100-111

[4] Ibid, Hal:192-196

[5] William A. haviland, Antropologi, hal 9-11

[6] Simon Coleman dan Helen Watson, Pengentar Antropologi. Hal: 31-35

[7] Koentjaraningrat, PENGANTAR ILMU ANTROPOLOGI, Hal:1-6

Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.